Sunday 30 July 2006

ideologikah?

komunisme, kapitalisme, demokratisme, liberalisme, sosialisme, privatisme, materialisme, hedonisme, imperialisme, anarkisme, islam, kristen, budha, hindu, konfusionisme, teologisme, humanisme, permisivisme ....apalagi.... apakah semua adalah sebuah ideologi??? lalu apa itu ideologi??? mengapa ada yg disebut ideologi turunan??

Sunday 23 July 2006

Menuju Kebudayaan Cyber

Pernahkah kita membayangkan keadaan ketika semua fasilitas yang ada di rumah kita dapat dikendalikan jarak jauh, misalnya mematikan atau menghidupkan lampu rumah kita dari jarak ribuan kilometer? Pernahkah melihat kulkas yang dapat berbelanja sendiri ke supermarket jika barang yang tersimpan sudah habis? Pernahkah memikirkan cara agar orang dapat belajar tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu? Pernahkah anda membayangkan keadaan, dimana semua aktivitas kehidupan kita terkait dengan fasilitas elektronik? Sudah siapkah kita menghadapi elektronisasi semua aktivitas kehidupan? Bagaimana kita menghadapi serbuan elektronisasi, subbudaya dari globalisasi yang kian tak tertahankan? Apa yang telah kita siapkan dalam pembentukan budaya cyber?

Kita dapat merasakan terjadinya percepatan proses aktivitas kehidupan dalam era globalisasi ini. Dunia pun seakan-akan melipat dirinya. Manusia tidak perlu lagi menghabiskan banyak waktu untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Tidak perlu lagi menunggu untuk mendapatkan informasi tentang keadaan suatu daerah di wilayah yang jauh dari tempatnya berada. Manusia tidak perlu lagi membaca banyak buku untuk menemukan suatu informasi yang dia butuhkan. Hal tersebut terjadi sejak perkembangan teknologi yang kian pesat, terutama sejak dimunculkannya internet secara global, mendunia.

Apakah masyarakat Indonesia sudah siap menerima serangan elektronisasi yang dibawa oleh globalisasi melalui fasilitas internetnya? Jawabannya tergantung kepada para pelajar. Pelajar di sini berarti semua orang yang memiliki niat untuk belajar, tidak terpatok dalam batasan umur dan gelar ataupun jabatan, maka anak SD hingga orang-orang tua semuanya berperan dalam mempersiapkan Indonesia yang elektronis.

Perhatian terhadap perkembangan internet dan perannya dalam kehidupan manusia tak dapat lepas dari perkembangan Information Commnication Techlology (ICT) atau lebih dikenal di Indonesia dengan teknologi informasi dan komunikasi, sebab peran ICT terhadap berbagai bidang kehidupan sangatlah besar. Teknologi informasi dan komunikasi mampu mengubah cara orang berkomunikasi, cara orang bekerja, cara orang belajar atau dengan kata lain mengubah cara hidup. Penerapan ICT dalam kehidupan merupakan pintu gerbang dalam pembentukan kebudayaan baru, yaitu kebudayaan cyber. Kebudayaan Cyber adalah kebudayaan yang terbentuk karena semakin membudayanya pelaksanaan hampir segala jenis aktivitas manusia di dunia cyber. Hal ini disebabkan karena telah terjadinya elektronisasi di hampir segala jenis aktivitas kehidupan manusia. Hal ini berarti semua manusia harus memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan alat-alat elektronis yang berteknologi tinggi sebab jika tidak maka manusia itu akan terpinggirkan dan menjadi manusia yang tidak berguna.
Penerapan ICT memiliki tantangan tersendiri. Masalah muncul ketika aktivitas yang berbasis ICT berinteraksi dengan orang-orang yang masih gagap teknologi. Proses komunikasi berbasis teknologi informasi akan terlihat tersendat, macet bahkan tak berfungsi ketika berhadapan dengan manusia-manusia yang belum terlalu akrab dengan komputer, jaringan dan internet.

Tantangan penerapan ICT dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu sarana dan prasarana, masyarakat dan individu. Tantangan yang ada dalam sarana prasarana antara lain adalah software yang digunakan untuk fasilitas pendukung ICT sebagian besar masih belum berbahasa Indonesia, kemungkinan terjadinya kebocoran informasi rahasia negara semakin besar, belum terlalu memasyarakatnya internet maupun alat-alat pendukung teknologi informasi terutama di daerah-daerah terpencil.

Tantangan penerapan ICT yang muncul dari sudut pandang kemasyarakatan adalah kurangnya SDM yang mampu untuk menjadi teknisi alat-alat yang mendukung penerapan ICT, kurangnya jumlah SDM yang memiliki keterampilan dan kemampuan untuk memanfaatkan informasi yang disediakan oleh teknologi informasi, masih tersendatnya komunikasi antarahli ICT untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi sehari-hari, masih hidup dan dipertahankannya budaya-budaya negatif, kebiasaan yang tidak baik dan mentalitas rendah dalam masyarakat Indonesia, misalnya korupsi, kolusi, kurangnya kedisiplinan terhadap peraturan, malas, pembajakan karya cipta (termasuk mencontek jawaban soal pada ujian), egois dan kapitalis yang mematikan fungsi sosial manusia karena selalu berorientasi kepada keuntungan material dan cenderung individualis yang sekuler, sosialis yang meniadakan sisi pribadi manusia dan menjadikan manusia hanya berfungsi sebagai makhluk komunal, kurang mengenal diri sendiri, kurang bertanggung jawab.

Pribadi yang berinteraksi dengan ICT pun memunculkan beberapa tantangan yang patut diperhitungkan, yaitu moral dan spiritualitas yang rendah pada sebagian besar rakyat Indonesia, masih adanya orang-orang yang phobia terhadap pertumbuhan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi yang diakibatkan oleh masih adanya mentalitas rendah, misalnya mempersulit yang mudah untuk keuntungannya sendiri.

Penerapan ICT di Indonesia terkait dengan e-lndonesia Initiative. E-lndonesia Initiative adalah suatu gerakan yang berkaitan dengan pembangunan teknologi dan komunikasi di Indonesia, baik usulan kebijakan, tesbed, pengendalian, pemantauan maupun kegiatan-kegiatan yang terkait lainnya, baik di pemerintahan, korporasi, sekolah maupun lembaga swadaya masyarakat. Tujuan kegiatan ini adalah tercapainya pembangunan teknologi informasi dan komunikasi yang selaras dengan pembangunan negara Republik Indonesia. Pembangunan e-commerce, e-education, e-government dll. perlu diteruskan dengan melihat pengalaman selama ini dan juga strategi pembangunan maupun penerapan yang lebih sesuai.

Konsep penerapan teknologi informasi dan komunikasi akan percuma jika tantangan yang ada dalam masyarakat dan pribadi bangsa Indonesia tidak kita tanggulangi. Hal itu pun akan makin parah jika peluang yang ada tidak kita manfaatkan. Penyambutan elektronisasi dalam segala bidang harus kita persiapkan dengan pembentukan budaya baru dalam diri bangsa Indonesia. Pembentukan budaya ini tidak berarti mengganti seluruh budaya yang ada, namun lebih cenderung kepada penggabungan budaya-budaya baik yang ada pada dua kebudayaan (kebudayaan internal dan kebudayaan eksternal) dengan tujuan terciptanya satu budaya unggul yang memanusiakan manusia dan menunjukkan manusia yang menjadi dirinya sendiri namun tetap sesuai fitrahnya.

Kebiasaan dan mentalitas yang harus ditanam, dipupuk dan dipelihara oleh masyarakat Indonesia untuk menuju kebudayaan cyber adalah kebiasan untuk disiplin. Bentuk disiplin itu antara lain berusaha untuk menepati janji, tepat waktu, taat pada peraturan yang berlaku atas dasar kesadaran pribadi bukan atas dasar rasa takut. Menjadi pribadi yang visioner (memiliki tujuan hidup yang jelas dan motivasi yang benar), berkarater (memiliki harga diri dan kehormatan jiwa dalam bentuk jujur, terpercaya, bertanggung jawab, setia dan loyal), selalu berusaha untuk tidak menjadi beban orang lain, juga merupakan mentalitas yang harus ada. Hal lain yang patut dilahirkan adalah memiliki prisip kerja keras, tuntas, kualitas, cerdas dan ikhlas. Kebiasaan mengeluh, bertindak sia-sia, malas, mengandalkan orang lain dan plagiasi (peniruan) murni adalah budaya yang harus dihilangkan dan dimatikan. Catatan penting dalam persiapan menuju kebudayaan cyber adalah perhatian terhadap sisi spiritualitas manusia, sebab sehebat apapun manusia tetap ada batasan yang tak dapat ditembus oleh kemampuannya. Harus ada keseimbangan perkembangan antara iptek dan moral. Spirituaitas disini bukan sebagai pelarian manusia, namun sebagai penopang perkembangan pemikiran manusia.

Sebagai penutup, melakukan perubahan kebudayaan merupakan hal yang sulit, namun bukan hal yang tidak mungkin. Selama kita berusaha untuk merubah, maka hal itu pasti dapat terlaksana. Maka bukan hal yang tidak mungkin jika kelak bangsa Indonesia dapat ikut berperan dalam pembentukan kebudayaan baru, yaitu Kebudayaan Cyber.

Sunday 16 July 2006

Mempertahankan Budaya, Perlukah?

Ketika menyikapi sebuah perubahan, ada tiga kelompok yang terbentuk. Kelompok itu adalah kelompok pendukung, kelompok penolak dan kelompok yang tidak bersikap. Ketiganya adalah kelompok yang akan terbentuk secara otomatis, maka tak akan ada kemungkinan untuk meniadakan kemunculan salah satu dari kelompok-kelompok tersebut, sebab hal tersebut sangat terkait dengan pola pikir seorang manusia.

Terkait dengan masalah perubahan kebudayaan, kehadiran ketiga kelompok tersebut pun tak dapat dihindari. Hal tersebut disebabkan karena ada kepentingan-kepentingan yang di belakangnya. Perubahan kebudayaan bisa jadi membawa kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Kehadiran yang menolak perubahan kebudayaan pun bisa jadi memiliki kepentingannya sendiri yang menyebabkan mereka menolak perubahan kebudayaan. Begitu pula dengan kelompok yang tidak peduli dengan ada atau tidaknya perubahan pada kebudayaan. Semuanya memiliki kepentingannya sendiri. Jika kita melihat

Indonesia, sebagai sebuah negara dengan beragam kebudayaan dan beragam kepentingan di dalamnya, maka kita akan melihat komunitas-komunitas yang dengan gigih mempertahankan eksistensi kebudayaannya masing-masing. Entah itu kebudayaan dalam bentuk adat istiadat, maupun pola pewarisan kebudayaan. Ada satu hal yang menarik di sini jika kita mengaitkan keinginan untuk mempertahankan eksistensi sebuah kebudayaan dengan keinginan untuk merubah kebudayaan yang –katanya– ingin memanusiakan manusia. Ada banyak pihak yang menginginkan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) agar segera disahkan mejadi Undang-Undang dengan tujuan menjadikan manusia agar lebih beradab. Di sisi lain kita akan menemukan orang-orang yang menentang RUU APP untuk dijadikan sebagai suatu Undang-Undang dengan salah satu alasannya, dapat menghilangkan eksistensi kebudayaan asli Indonesia, yang artinya tidak menghormati warisan para pendiri suku-suku di Indonesia yang telah dilestarikan turun-temurun.

Terlepas dari sikap setuju atau tidak (atau juga tidak peduli) dengan perubahan RUU APP menjadi sebuah Undang-Undang, sebaiknya kita melihat urgensitas dari perlu tidaknya mempertahankan budaya yang telah ada sejak dahulu. Apakah semua bentuk kebudayaan harus kita pertahankan? Apakah sebuah suku akan kehilangan jati dirinya jika salah satu bentuk kebudayaannya dirubah? Bukankah kebudayaan adalah usaha manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya? Lalu mengapa kita menolak kehadiran budaya baru yang menggantikan kebudayaan lama, jika kebudayaan tersebut lebih baik dan lebih memanusiakan manusia? Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menulis dalam bukunya Setangkai Bunga Sosiologi “Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri”.

Sunday 9 July 2006

Dunia Transparan (prolog)

begitu banyak orang yang mewarnai hidupnya dalam kehidupan. ntah itu warna-warna gelap atau pun warna-warna cerah. ada pula yang ikut terwarnai oleh warna-warna yang diberikan oleh masyarakat. akibatnya banyak anggapan-anggapan dan opini-opini yang berkembang biak dengan baik meskipun kita tidak tahu kebaikan maupun kebenarannya. terkadang ada hal-hal yang netral menjadi bermakna negatif atau positif, dan itu semua tergantung kepada pendapat umum, atau pendapat pribadi yang diakui oleh umum.

terkadang ada orang yang menyepelekan masalah penting. misalnya saja dalam ketatabahasaan. dalam bahasa arab ada perbedaan arti antara "ayyam" dengan "ayam". "ayyam" berarti hari sedangkan "ayam" tidak ada artinya. namun karena sudah tercekoki dengan penyepelean hal-hal yang sepele namun terkadang penting, akhirnya hal seperti itu pun dianggap biasa saja. salah satunya adalah penyamaan "dajal" dengan "dajjal".

banyak hal yang perlu dibenahi dalam hidup ini, salah stunya adalah pola pikir kita. 4JJ1 menciptakan dunia ini penuh warna, dan dengan warna itu hukum alam menjadi stabil. sayangnya, karena manusia yang telah menyempitkan pandangannyalah maka warna-warna yang ada hanya dapat terlihat sebagian. cahaya hanya dilihat sebagai warna putih. kegelapan hanya terlihat hitamnya dan ketidakjelasan menjadi abu-abu. padahal dalam semua hala ada bagian warna-warnanya. bukankah hitam bisa menjadi hitam karena ada putih. bukankah dalam keabu-abuan ada merah, hijau, biru, kuning, hitam dan putih. meskipun proporsinya tidak sama. tapi yang jelas semuanya adalah warna transparan. pelangi pun adalah warna transparan yang telah terbiaskan oleh kejernihan air.

4JJ1 pernah berkata (dalam sudut pandang yang lain) "semuanya berasal dariKu dan akan kembali kepadaKu" [2:156]

memang tidak semua orang berhak menjadi seorang mujtahid, karena memang ada syarat-syarat khusus untuk menjadi seorang mujtahid. Namun apakah salah jika kita memandang sesuatu dari perspektif/ sudut pandang yang lain. sudut pandang yang berbeda dengan sudut pandang orang kebanyakan.

apakah sesuatu yang baru selalu salah? apakah pemikiran-pemikiran baru selalu salah? tentunya semua akan berpendapat "tidak selalu, tergantung isinya". kalau memang berpendapat seperti itu, bagaimana tanggapan terhadap terjemahan ayat di atas. salahkah?

resiko orang-orang yang memandang dari sudut pandang berbeda adalah keterasingan. mungkin akan banyak kritikan terhadap orang2 yang menggunakan nama-nama yang bermakna negatif atau yang mendekatinya, misalnya saja dajal, jurig, darkness

apakah pemikiran kita telah terdikotomikan oleh pemikiran-pemikiran sekuler. pemikiran yang meniadakan tuhan sebagai pencipta segala. pemikiran yang menganggap bahwa yang baik itu hanya tuhan dan setan adalah sumber keburukan. padahal, 4JJ1 telah menyatakan "Akulah yang menciptakan", yang berarti semua yang ada di dunia ini sejatinya adalah ciptaan 4JJ1, yang berarti pula segala (menurut sudut pandang manusia) kebaikan dan kejahatan berasal dari 4JJ1 pula.

janganlah menilai sesuatu yang terjadi di dunia ini sebagai hitam atau putih atau abu-abu atau merah jambu atau hijau. sebab sebenarnya semuanya adalah satu warna, yaitu transparan (tanpa warna).

marilah kita belajar melihat seluruh warna alam dengan keseluruhan warnanya

Sunday 2 July 2006

Diri Kita Bukan Milik Kita

setuju atau tidak judul tulisan ini adalah sebuah kenyataan. sepemikiran dengan salah seorang saudara saya, tidak ada alasan kuat yang menyatakan kalau diri kita ini adalah milik kita seutuhnya. siapakah kita, hingga kita mengaku memiliki diri kita sendiri? bukankah kita tak punya kebebasan dalam memiliki kehidupan kita di dunia ini? mengapa kita bisa merasakan kehidupan? apakah kita mampu menolak pemberian kehidupan ini? janganlah sesumbar menyatakan "be your self/ jadilah dirimu sendiri". sebab siapakah diri kita ini? bukankah manusia itu terbentuk dari informasi yang masuk ke dalam dirinya (terlepas dari informasi itu diterima atau ditolak)?


manusia adalah manusia. makhluk sempurna yang tidak sempurna. makhluk yang berlebih di dalam kekurangannya. ciptaan yang bebas berkehendak sesuai keinginannya namun dibatasi rencanaNya. pribadi yang berkarakter namun memerlukan contoh.

sekali lagi saya hanya ingin menekankan, bahwa diri kita bukanlah milik kita. kita tetap dapat berkelakuan sesuka hati kita. kita tetap boleh menentukan apa yang kita inginkan. hanya saja kita tak selalu dapat mendapatkan apa yang kita ingin dapatkan, sebab ada yang Maha Menentukan.

jika kita telaah konsep egoisme, terutama tentang rasa kepemilikan tubuh, sungguh ternyata ada penuhanan terhadap diri sendiri. apakah kita termasuk ke dalam golongan seperti itu? seandainya saja semua orang sadar tentang siapa yang benar-benar memiliki diri ini, tentu saja tidak akan ada lagi pengobralan aurat manusia.

sebagai penutup saya hanya ingin menulis, innalillahi wainna ilaihi rojiun/ segalanya berasal dari 4JJ1 dan akan kembali kepada 4JJ1